Terdengar suara hentakan kaki
yang semakin mendekat, ketukan pintu oleh kepalan tangan menandakan
tergesa-gesa. Berdebar dibuatnya, ku pikir itu depkolektor, ternyata itu suara
babeh, seksi memang suaranya, bak suara iklan di tv yang mengajak mama pulang
“mamah, mau ikut?”. Namun dalam kasus ini, di ganti menjadi “cen, hayu
tarawih”, silahkan bayangkan sendiri dengan imajinasi dan kreasi masing-masing.
Kami sekeluarga selalu mengadakan
tarawih bersama di rumah, babeh selalu menjadi imam. Otoritasnya sebagai kepala
keluarga selalu membuat dia ingin menjadi gardu terdepan dalam pendidikan
keluarga, terutama soal agama. Ibu juga begitu, dua duanya memang hebat, selalu
menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun ibu lebih perfeksionis, babeh
lebih toleran. Ibu selalu menginginkan yang sempurna, babeh apa adanya, kami
sebagai anaknya hanya bisa ternganga dan mengusap ngiler yang daritadi mulai
menetes melihat orang tua kami mengadu kekerenan. *becanda
Bila diluar disana masih ribut
soal jumlah rakaat dalam sholat tarawih, ada yang memecahkan rekor hanya 10
menit untuk 23 rakaat, atau paling lama untuk 11 rakaat. Intinya sih, dua
duanya juga ibadah, punya dasar yang kuat untuk keduanya, dan boleh-boleh saja.
Sehingga tak perlu dipaksakan untuk orang yang ingin 11 harus 23, atau yang 23
harus 11.
Begitupun dikeluargaku. Ayahku
selalu 23, ibuku ngotot ingin 11, namun kerennya mereka menyampaikan mengenai
dasar dari masing-masing perlakuan. Biasanya disampaikan sebelum tarawih, babeh
mengawali ceramah dulu, dengan dimoderatori oleh ibu. Padahal audiensnya hanya berdua,
aku dan kakakku, tapi mereka begitu mempersiapkan ceramah seperti disambut oleh
ratusan audiens. Orang tuaku memang begitu orangnya.
Pilihan babeh untuk 23 rakaat
memang berdasarkan atas perkataan para sahabat atas tindakan rasulullah SAW
dalam setiap tarawihnya, disamping ya beberapa mahzab yang dianut babeh yang
belum aku mengerti betul hingga hari ini.
Begitupun dengan ibu, bersikukuh
dengan 11 rakaat yang diperintah pula oleh rasul dan dicontohkan. Sehingga
babeh dan ibu tak pernah sama dalam pelaksanaan tarawih. Lalu bagaimana dengan
anak-anaknya?
Kakakku mengikuti ayah, dan aku
mengikuti ibu. Bukan karena dipaksa oleh masing-masing pemahaman. Namun, babeh
dan ibu memiliki daftar buku bacaaan dan cerita bebas dibaca oleh kami di
rumah, begitupun dengan film dan novel lain, disediakan untuk memperkaya
pengetahuan kami soal agama.
Melihat perbedaan pemahaman
antara babeh dan ibu, babeh membagi tarawih menjadi masing-masing 4 rakaat,
hingga ibu dan aku bisa berhenti di rakaat ke 11 dan mengakhiri tarawih kami,
kakak dan babeh melanjutkan hingga rakaat 23. Kebiasaan ini sudah berlangsung dari
kami kecil. Babeh dan ibu tak pernah memaksa kami untuk mengikuti salah satu
dari mereka, yang paling penting kata mereka, bila anak-anaknya tak ada yang
mengikuti kami (babeh dan ibu-red)
satu pun. Dalam artian, tidak ibadah, tidak berbakti, tidak mencintai tuhan dan
rasulnya. Hal tersebutlah yang akan menjadi masalah dan perdebatan dalam
keluarga, bila hanya mengenai perbedaan mahzab, kami hargai sebagai upaya pencerdasan
intelektual sebagai manusia.
Kami yakini, bahwa manusia tidak
bodoh, hingga mereka tak patut oleh doktrinisasi satu arah, tak belajar
sendiri, tak mencari sendiri, hanya disuapi. Biarkan mereka mencari pengetahuan
sendiri namun tetap diberikan jalur, diberikan jalan agar tidak tersesat. Pada
intinya, semua hal itu harus didapat dengan esensi belajar tanpa paksaan,
hingga akhirnya akan mencintai dengan sepenuhnya, dengan tulus.
Orang tuaku justru tak
menginginkan bila anak-anaknya hanya ikut-ikutan seperti kerbau. Beragama islam
ikut-ikutan karena keturunan, puasa dilakukan karena mayoritas dan
kebiasaan. Orang tuaku mengajarkanku
bahwa dalam beragama dan berkehidupan, kamu harus punya alasan dan dasar.
Mengapa kamu sholat? Karena kamu paham mengenai perintah dan artinya. Jangan
hanya menjalankan secaa ritual, tidak paham esesni. Jadinya nanti kalo ada yang
ngobrak ngabrik pikiran dan mengomporimu untuk membunuh, akan gampang menurut,
wong kamu aja gak paham apa yang kamu jalani.
0 komentar:
Posting Komentar