“Aku tak peduli mau babeh yang selalu duluan lebaran, dan kita
belakangan, yang penting, kita sama-sama merayakan dan memiliki dasar yang benar,
kalo beda, cukup hargai saja dan rayakan lebaran dengan gembira,” – cenia
![]() |
Apapun makanannya, yang penting kita tetap keluarga. sumber : google.com |
Motorku terparkir rapi di halaman,
lembut tak menimbulkan kegaduhan, malah yang lebih nyaring, decit gerbang yang
besinya mulai usang karena sudah berusia lanjut. Ngilu! Mengunyah permen karet adalah
perilaku rutin yang selalu dilakukan ketika menutup gerbang, sekedar untuk meredakan
perasaan tak karuan ketika hendak memasukan motor ke halaman rumah.
Penuh! Teras depan sudah
bealihfungsi sebagai tempat penampungan kursi. Ada meja, kursi tamu, pot bunga
lama. Karpet-karpet baru digelar di ruang
tengah, bunga melati semerbak di mana-mana, ibu dan seluruh tetangga yang hadir
sedang ramai membuat ketupat dan kue nastar. Ah iya, besok hari raya, padahal
masih was-was menunggu pengumuman pemerintah yang sedang galau menunggu hilal, melihat-lihat,
menunggu, dan bersorai bila telah terlihat.
“Assalamualaikum”
Belum juga aku selesai menyapu
pandanganku kepada lima ibu-ibu yang sedang duduk lesehan membuat ketupat sambil
mengucap salam, ibu selalu ribet dengan semua intruksinya sambil memotong-motong
buah untuk buka nanti.
“Cen, segera simpan ransel dan
seluruh novelmu itu, bantu ibu untuk segera membuat ketupat dan seluruh
keribetan yang ada di rumah ini”, oh iya, waalaikumsalam, maaf ibu lupa
menjawab salam,” setelah itu, kumpul disini, ibu mau nanya soal keinginan
makanan untuk hari raya besok, panggil juga kakak sama babeh yang lagi sibuk
kajian terus di kamar belakang.
Ku hempaskan nafas sedari tersenyum
melihat ibu yang memang selalu antusias dalam setiap kondisi. Saking
antusiasnya, sampai-sampai gak nahan cerewetnya, instruksi sana-sini, belum
selesai semua sudah intruksi baru. Ibu memang perfeksionis, dia menginginkan
semuanya berjalan sesuai keinginan seluruh anggota keluarga, termasuk soal
makanan untuk hari raya.
Keluarga sederhana yang berisi
empat orang, babehku, aku, ibu dan kakakku. Baru kali ini kami akan lebaran
secara serentak satu keluarga. Biasanya babeh sering duluan kalo lebaran, ibu
lebih lambat satu hari, mereka memiliki dasar pemahaman masing-masing, meski
beda, sama saja saling mendukung untuk menyiapkan hari raya. Tapi, jangan Tanya
aku dan kakakku, kami mengikuti pemerintah, asalkan yang paling cepat dan sah.
Kami ikut lebaran.
Kami hanya berempat, dengan beraneka ragam kesukaan, dipersatukan
dalam hidagan menu makanan. Ceritanya, setiap anggota keluarga, ibu, babeh,
kakak dan aku, masing-masing memiliki makanan kesukaan masing-masing. Ribet
memang, tapi inillah cara ibu untuk mengajarkan toleransi dan kerja sama,
sederhana. Hanya menyoal makanan.
Menyambut hari raya ied fitri,
makanan wajib yang selalu ada pasti opor, gule, dan ketupat. Sayangnya, di
keluarga pada umumnya, pasti juru masak, alias ibu akan langsung memasak sesuai
dengan kebiasaan. Namun, tidak dengan ibuku, dirinya akan bertanya satu-satu
kepada anggota keluarga, dimulai absen dari babeh.
“beh, mau makan apa besok?” Tanya
ibuku
“gule aja, sama sambel goreng ati”
kata babeh
“kalo cenia gimana?,” Tanya ibu
“cenia gak suka gule, cenia mau sop
iga, gak suka ati, anyir. Babeh jangan mau enaknya sendiri dong pesen dua
makanan sama ibu”
“babeh kan hanya senang dan
antusias saja, baru tahun ini babeh dan ibu serta kalian lebarannya sama,
biasanya kan babeh suka duluan, ibu belakangan,”
“tetep aja beh, makanannya harus
disukai semua orang,” jengkelku
*babeh dan
cenia sedang adu lempar (dibaca : lempar sukro ke mulut masing-masing)
“kakak mah makanan berat mah apa aja,
yang penting kuenya asin,” Nyengir kakakku.
*Memang, dia pemakan segala, asalkan ada kue asin, amanlah
hidupnya.
“oke stop! Ibu sedang menulis,
jangan tambah runyam dengan argumen masing-masing, sebentar ibu susun dulu
keinginan masing-masing, babeh maunya ini, cenia ini, kakak itu yah, oke lah
jadi begini,”
Dan kami pun terkejut dengan ibu
yang sedang asik dengan kertas plano yang dia siapkan dan asik menulis semua
keinginan kami dan disusun berdasarkan kategori. Makanan berat, keinginan
pribadi, keinginan bersama, dan keputusan makanan.
Ibu mana yang takkan bingung
melihat seluruh anggota keluarga memiliki egosentris masing-masing terhadap
makanan kesukaan. Akhirnya, ibu mengutarakan mengenai usulan solusi
penyelesaian yang dapat menguntungkan semua pihak, baik itu babeh, aku, ataupun
kakak, ya tentunya termasuk ibu sendiri.
“babeh mau makan sambel goreng ati
sama gule kan? Cenia mau sop iga dan gak suka ati. Oke, kakak pemakan segala,
tapi mau kue asin. Jadi gimana kalo ibu tawarkan ini,” tawarnya
“Babeh mau dua menu, cenia juga dua
menu, kakak juga harus dapet dua biar adil. babeh, kalo gulenya diubah namanya
jadi sop iga gimana? Mau? Plus sama sambel goreng ati?,”
“hmm, gpp bu, sepakat” kata babeh
“cenia, sop iga dan sambel goreng
kentang tanpa ati, karena kamu ga suka anyir, biar ibu pisahin nanti, yang ada
ati buat babeh, kakak. Tanpa ati buat kamu. Gimana menurut kamu?
“nah, aku sepakat bu,”
“kakak, nanti makan sop iga, sambel
goreng kentang plus ati ditambah kue nastar + keju yah,” seru ibu.
“nah, kakak suka ide ibu”
“ibu, tapi kue bisa buat semua
kan?, tanyaku
“tentu saja, setiap orang berhak
memiliki porsi yang setara, meski tidak sama, tapi sebanding. Karena itu esensi dari keadilan, tidak harus sama rata,
kan sesuai keinginan, yang penting nilainya sama. Agar setiap orang bisa
menikmati makanan favorit mereka ketika di hari kemenanga, tanpa harus
meninggalka rasa kekecewaan, ketidakpuasan atau bahkan tidak rela. Harus saling
menerima dan legowo ya nak -- Ibu
0 komentar:
Posting Komentar