Situs Rujukan

Senin, 20 Juli 2015

Cerai #1 || Antara sop iga, nastar dan ati


“Aku tak peduli mau babeh yang selalu duluan lebaran, dan kita belakangan, yang penting, kita sama-sama merayakan dan memiliki dasar yang benar, kalo beda, cukup hargai saja dan rayakan lebaran dengan gembira,” – cenia

Apapun makanannya, yang penting kita tetap keluarga.
sumber : google.com

Motorku terparkir rapi di halaman, lembut tak menimbulkan kegaduhan, malah yang lebih nyaring, decit gerbang yang besinya mulai usang karena sudah berusia lanjut. Ngilu! Mengunyah permen karet adalah perilaku rutin yang selalu dilakukan ketika menutup gerbang, sekedar untuk meredakan perasaan tak karuan ketika hendak memasukan motor ke halaman rumah.

Penuh! Teras depan sudah bealihfungsi sebagai tempat penampungan kursi. Ada meja, kursi tamu, pot bunga lama.  Karpet-karpet baru digelar di ruang tengah, bunga melati semerbak di mana-mana, ibu dan seluruh tetangga yang hadir sedang ramai membuat ketupat dan kue nastar. Ah iya, besok hari raya, padahal masih was-was menunggu pengumuman pemerintah yang  sedang galau menunggu hilal, melihat-lihat, menunggu, dan bersorai bila telah terlihat.
“Assalamualaikum”
Belum juga aku selesai menyapu pandanganku kepada lima ibu-ibu yang sedang duduk lesehan membuat ketupat sambil mengucap salam, ibu selalu ribet dengan semua intruksinya sambil memotong-motong buah untuk buka nanti.
“Cen, segera simpan ransel dan seluruh novelmu itu, bantu ibu untuk segera membuat ketupat dan seluruh keribetan yang ada di rumah ini”, oh iya, waalaikumsalam, maaf ibu lupa menjawab salam,” setelah itu, kumpul disini, ibu mau nanya soal keinginan makanan untuk hari raya besok, panggil juga kakak sama babeh yang lagi sibuk kajian terus di kamar belakang.
Ku hempaskan nafas sedari tersenyum melihat ibu yang memang selalu antusias dalam setiap kondisi. Saking antusiasnya, sampai-sampai gak nahan cerewetnya, instruksi sana-sini, belum selesai semua sudah intruksi baru. Ibu memang perfeksionis, dia menginginkan semuanya berjalan sesuai keinginan seluruh anggota keluarga, termasuk soal makanan untuk hari raya.
Keluarga sederhana yang berisi empat orang, babehku, aku, ibu dan kakakku. Baru kali ini kami akan lebaran secara serentak satu keluarga. Biasanya babeh sering duluan kalo lebaran, ibu lebih lambat satu hari, mereka memiliki dasar pemahaman masing-masing, meski beda, sama saja saling mendukung untuk menyiapkan hari raya. Tapi, jangan Tanya aku dan kakakku, kami mengikuti pemerintah, asalkan yang paling cepat dan sah. Kami ikut lebaran.
Kami hanya berempat,  dengan beraneka ragam kesukaan, dipersatukan dalam hidagan menu makanan. Ceritanya, setiap anggota keluarga, ibu, babeh, kakak dan aku, masing-masing memiliki makanan kesukaan masing-masing. Ribet memang, tapi inillah cara ibu untuk mengajarkan toleransi dan kerja sama, sederhana. Hanya menyoal makanan.
Menyambut hari raya ied fitri, makanan wajib yang selalu ada pasti opor, gule, dan ketupat. Sayangnya, di keluarga pada umumnya, pasti juru masak, alias ibu akan langsung memasak sesuai dengan kebiasaan. Namun, tidak dengan ibuku, dirinya akan bertanya satu-satu kepada anggota keluarga, dimulai absen dari babeh.
“beh, mau makan apa besok?” Tanya ibuku
“gule aja, sama sambel goreng ati” kata babeh
“kalo cenia gimana?,” Tanya ibu
“cenia gak suka gule, cenia mau sop iga, gak suka ati, anyir. Babeh jangan mau enaknya sendiri dong pesen dua makanan sama ibu”
“babeh kan hanya senang dan antusias saja, baru tahun ini babeh dan ibu serta kalian lebarannya sama, biasanya kan babeh suka duluan, ibu belakangan,”
“tetep aja beh, makanannya harus disukai semua orang,” jengkelku
*babeh dan cenia sedang adu lempar (dibaca : lempar sukro ke mulut masing-masing)
“kakak mah makanan berat mah apa aja, yang penting kuenya asin,” Nyengir kakakku.
*Memang, dia pemakan segala, asalkan ada kue asin, amanlah hidupnya.
“oke stop! Ibu sedang menulis, jangan tambah runyam dengan argumen masing-masing, sebentar ibu susun dulu keinginan masing-masing, babeh maunya ini, cenia ini, kakak itu yah, oke lah jadi begini,”
Dan kami pun terkejut dengan ibu yang sedang asik dengan kertas plano yang dia siapkan dan asik menulis semua keinginan kami dan disusun berdasarkan kategori. Makanan berat, keinginan pribadi, keinginan bersama, dan keputusan makanan.
Ibu mana yang takkan bingung melihat seluruh anggota keluarga memiliki egosentris masing-masing terhadap makanan kesukaan. Akhirnya, ibu mengutarakan mengenai usulan solusi penyelesaian yang dapat menguntungkan semua pihak, baik itu babeh, aku, ataupun kakak, ya tentunya termasuk ibu sendiri.
“babeh mau makan sambel goreng ati sama gule kan? Cenia mau sop iga dan gak suka ati. Oke, kakak pemakan segala, tapi mau kue asin. Jadi gimana kalo ibu tawarkan ini,” tawarnya
“Babeh mau dua menu, cenia juga dua menu, kakak juga harus dapet dua biar adil. babeh, kalo gulenya diubah namanya jadi sop iga gimana? Mau? Plus sama sambel goreng ati?,”
“hmm, gpp bu, sepakat” kata babeh
“cenia, sop iga dan sambel goreng kentang tanpa ati, karena kamu ga suka anyir, biar ibu pisahin nanti, yang ada ati buat babeh, kakak. Tanpa ati buat kamu. Gimana menurut kamu?
“nah, aku sepakat bu,”
“kakak, nanti makan sop iga, sambel goreng kentang plus ati ditambah kue nastar + keju yah,” seru ibu.
“nah, kakak suka ide ibu”
“ibu, tapi kue bisa buat semua kan?, tanyaku
“tentu saja, setiap orang berhak memiliki porsi yang setara, meski tidak sama, tapi sebanding. Karena itu  esensi dari keadilan, tidak harus sama rata, kan sesuai keinginan, yang penting nilainya sama. Agar setiap orang bisa menikmati makanan favorit mereka ketika di hari kemenanga, tanpa harus meninggalka rasa kekecewaan, ketidakpuasan atau bahkan tidak rela. Harus saling menerima dan legowo ya nak  -- Ibu


0 komentar:

Posting Komentar