#2
Tak perlu mengkotak-kotakkan bahwa yang pintar harus rangking, yang
cerdas harus kutu buku, berhenti melabelkan anak dengan status yang tak mereka
inginkan. Mereka hanya ingin bebas, berkreasi dengan dukungan, bukaan cemoohan,
arahkan dan lihatlah, anak-anak akan mengubah dunia dengan warna mereka
sendiri- cenia
Karpet merah besar telah
terbentang bebas di ruang tengah, ada
dua karpet berukuran sama untuk menutupi lantai keramik yang usang dan mudah
berdebu. Anak-anak belarian mengantri untuk mandi, berlomba menuju pintu kamar
mandi yang tersedia 4 ruangan. Mereka ada ber-11. Tercepatlah yang akan Cantik
dan tampan duluan.
Mereka adik di panti asuhan, usianya
baru belasan, SMP hingga SMA jenjang pendidikan mereka, bervaiasi
bermacam-macam usia. Habis ashar mereka terbiasa bergegas bersiap diri untuk
menyambut acara donatur yang ingin buka bersama dan berbagi cerita.
“kak cenia, siapa nanti yang
bakal tampil untuk menyambut donatur?,” Tanya Elin
“yang siap boleh maju, apapun
karyanya, bebas, semuanya bagus-bagus da” kataku
“oh gitu ya kak, oke deh siap.
Berarti siapa aja ya ka, da keren kan kita mah yah,” rajuk elin
“iya dong, itu adalah karya
originalitas kalian sendiri, yang bilang bagus dan kurang bagus kan orang lain
yang belum tentu bisa melakukan apa yang kalian lakuan, begitupun sebaliknya,
jadi lakukan yang terbaik yah,” ungkapku.
Sedari merapikan berkas yang
berserakan depan meja ruang tamu, aku melihat beberapa mobil sedan dan deretan
sepeda motor terparkir di depan gerbang panti asuhan. Satu persatu dari mereka
sibuk membawa kotak nasi dari bagasi mobil dan mengestafetkan hingga memasuki
ruangan. Sisanya, membawa beberapa bingkisan hadiah yang ingin mereka berikan
untuk anak-anak di panti juga.
“assalamualaikum,” sapa salah
satu gadis berhijab anggun dengan bibir merahnya.
“waalaikumsalam,” selamat sore,
silahkan masuk. Duduklah dan mari berbincang mengenai hal menyenangkan apa yang
akan kita lakukan sore ini
“begini teh, seperti yang sudah
kita diskusikan ketika di email kemarin, selain ingin buka bersama, kami juga
berencana ingin memberikan hadiah untuk anak-anak yang berprestasi di panti
teh, apakah ada?
Aku menatap dalam-dalam kakak
yang dengan seriusnya mengajak ngobrol denganku, dengan lembut aku tersenyum
ramah sambil membuka album foto adik-adik yang tersusun rapi di bawah meja.
Aku pun menunjukan beberapa foto mereka yang sedang bermain jimbe, menyanyi,
menjahit hingga karate, ada juga dari mereka yang sedang memgang nilai evaluasi
rapor tahunan.
“mereka semua berprestasi
kak,”ungkapku
“hmm, maksud ku teh, berprestasi
dalam hal akademik, dia yang pintar, sering ranking di sekolahnya,’’tambah kak
amel
Kak amel, yang kakak maksud
berprestasi hanya untuk mereka yang mendapat rangking di kelas? Apakah mereka rajin sholat, pandai mengaji, hobi
memainkan alat musik dan menjahit tidak termasuk?
“ya menjahit atau bermain
bulutangkis memang keahlian, tapi apa mereka sudah mendapatkan kejuaraan?
Aku kembali menghela nafas dalam,
dan ku katakan dengan tegas. Kak amel, kami di panti tidak menghargai setiap
kerja keras dan proses anak untuk menjadi lebih baik. menurutku, mereka lebih
dari berprestasi, anak-anak tidak harus dipatok mereka menjadi rangking satu di
kelas, kalo ternyata mereka memiliki kemampuan dan minat lain, ya ga masalah,
setiap anak gak ada yang gak punya kemampuan, hanya perlu didiukung dan tidak
diintimidasi dengan tuntutan rangking. Biarkan mereka berkreasi sebebas mereka
asal paham batas, norma, tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Mengenai hadiah yang ingin
diberikan, bagaimana bila setiap anak diberi semua? Usaha anak untuk terus
mengejar mimpinya di bidang masing-masing yang mereka sukai da tekuni `patut di
apresiasi dengan tidak direndahkan atau dikucilkan, pasti akan berbuah manis
kelak. Seperti yang diharapkan kak amel dan kawan-kawan kan, berprestasi yang
juga dibuktikan dengan selembar pengakuan, rapor atau sertifikat dan apalah
namanya itu.
Anggukan kepala kak amel dan
kawan-kawannya disertai senyuman yang terpampang manis terpancar menandakan
kesepakatan akan pemahaman baru, bahwa untuk memandang seseorang tak perlu di
kerucutkan, di kotak-kotakkan. Bukankah pada akhirnya, seluruh manusia ini akan
berakhir sama tak peduli bagaimana pun latar belakang kehidupannya selama di
dunia, semua manusia akan mati dan dikubur, dibakar, dikremasi ataupun cara
lain. Intinya mati. Caranya beda, tujuannya sama.
Begitu halnya untuk streo-type-an
anak anak di Indonesia, paradigma bahwa pintar itu harus rangking, harus
berprestasi, sehingga anak-anak dipaksa keras oleh orang tuanya untuk belajar
sekeras yang mereka bisa, merelakan waktu bermainnya, merelakan ruang gerak
mereka. Hak mereka telah dirampas oleh orang yang menyayangi mereka sendiri.
Apa jadinya bila setiap anak dibebaskan untuk berkreasi, memilih jalannya
sendiri, peran orang tua hanya menjadi kompas, menunjukan arah, memberikan
saran dan mendukung kreatifitas anak. Lihatlah, mereka pasti akan menjadi anak
yang berprestasi sesuai dengan jalan mereka sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar