Situs Rujukan

Senin, 20 Juli 2015

Cerai #2 || apakah aku harus rangking di kelas dulu agar disebut pintar?

#2
Tak perlu mengkotak-kotakkan bahwa yang pintar harus rangking, yang cerdas harus kutu buku, berhenti melabelkan anak dengan status yang tak mereka inginkan. Mereka hanya ingin bebas, berkreasi dengan dukungan, bukaan cemoohan, arahkan dan lihatlah, anak-anak akan mengubah dunia dengan warna mereka sendiri- cenia



Karpet merah besar telah terbentang bebas di ruang tengah,  ada dua karpet berukuran sama untuk menutupi lantai keramik yang usang dan mudah berdebu. Anak-anak belarian mengantri untuk mandi, berlomba menuju pintu kamar mandi yang tersedia 4 ruangan. Mereka ada ber-11. Tercepatlah yang akan Cantik dan tampan duluan.
Mereka adik di panti asuhan, usianya baru belasan, SMP hingga SMA jenjang pendidikan mereka, bervaiasi bermacam-macam usia. Habis ashar mereka terbiasa bergegas bersiap diri untuk menyambut acara donatur yang ingin buka bersama dan berbagi cerita.
“kak cenia, siapa nanti yang bakal tampil untuk menyambut donatur?,” Tanya Elin
“yang siap boleh maju, apapun karyanya, bebas, semuanya bagus-bagus da” kataku
“oh gitu ya kak, oke deh siap. Berarti siapa aja ya ka, da keren kan kita mah yah,” rajuk elin
“iya dong, itu adalah karya originalitas kalian sendiri, yang bilang bagus dan kurang bagus kan orang lain yang belum tentu bisa melakukan apa yang kalian lakuan, begitupun sebaliknya, jadi lakukan yang terbaik yah,” ungkapku.
Sedari merapikan berkas yang berserakan depan meja ruang tamu, aku melihat beberapa mobil sedan dan deretan sepeda motor terparkir di depan gerbang panti asuhan. Satu persatu dari mereka sibuk membawa kotak nasi dari bagasi mobil dan mengestafetkan hingga memasuki ruangan. Sisanya, membawa beberapa bingkisan hadiah yang ingin mereka berikan untuk anak-anak di panti juga.
“assalamualaikum,” sapa salah satu gadis berhijab anggun dengan bibir merahnya.
“waalaikumsalam,” selamat sore, silahkan masuk. Duduklah dan mari berbincang mengenai hal menyenangkan apa yang akan kita lakukan sore ini
“begini teh, seperti yang sudah kita diskusikan ketika di email kemarin, selain ingin buka bersama, kami juga berencana ingin memberikan hadiah untuk anak-anak yang berprestasi di panti teh, apakah ada?
Aku menatap dalam-dalam kakak yang dengan seriusnya mengajak ngobrol denganku, dengan lembut aku tersenyum ramah sambil membuka album foto  adik-adik yang tersusun rapi di bawah meja. Aku pun menunjukan beberapa foto mereka yang sedang bermain jimbe, menyanyi, menjahit hingga karate, ada juga dari mereka yang sedang memgang nilai evaluasi rapor tahunan.
“mereka semua berprestasi kak,”ungkapku
“hmm, maksud ku teh, berprestasi dalam hal akademik, dia yang pintar, sering ranking di sekolahnya,’’tambah kak amel
Kak amel, yang kakak maksud berprestasi hanya untuk mereka yang mendapat rangking di kelas? Apakah  mereka rajin sholat, pandai mengaji, hobi memainkan alat musik dan menjahit tidak termasuk?
“ya menjahit atau bermain bulutangkis memang keahlian, tapi apa mereka sudah mendapatkan kejuaraan?
Aku kembali menghela nafas dalam, dan ku katakan dengan tegas. Kak amel, kami di panti tidak menghargai setiap kerja keras dan proses anak untuk menjadi lebih baik. menurutku, mereka lebih dari berprestasi, anak-anak tidak harus dipatok mereka menjadi rangking satu di kelas, kalo ternyata mereka memiliki kemampuan dan minat lain, ya ga masalah, setiap anak gak ada yang gak punya kemampuan, hanya perlu didiukung dan tidak diintimidasi dengan tuntutan rangking. Biarkan mereka berkreasi sebebas mereka asal paham batas, norma, tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Mengenai hadiah yang ingin diberikan, bagaimana bila setiap anak diberi semua? Usaha anak untuk terus mengejar mimpinya di bidang masing-masing yang mereka sukai da tekuni `patut di apresiasi dengan tidak direndahkan atau dikucilkan, pasti akan berbuah manis kelak. Seperti yang diharapkan kak amel dan kawan-kawan kan, berprestasi yang juga dibuktikan dengan selembar pengakuan, rapor atau sertifikat dan apalah namanya itu.

Anggukan kepala kak amel dan kawan-kawannya disertai senyuman yang terpampang manis terpancar menandakan kesepakatan akan pemahaman baru, bahwa untuk memandang seseorang tak perlu di kerucutkan, di kotak-kotakkan. Bukankah pada akhirnya, seluruh manusia ini akan berakhir sama tak peduli bagaimana pun latar belakang kehidupannya selama di dunia, semua manusia akan mati dan dikubur, dibakar, dikremasi ataupun cara lain. Intinya mati. Caranya beda, tujuannya sama.
Begitu halnya untuk streo-type-an anak anak di Indonesia, paradigma bahwa pintar itu harus rangking, harus berprestasi, sehingga anak-anak dipaksa keras oleh orang tuanya untuk belajar sekeras yang mereka bisa, merelakan waktu bermainnya, merelakan ruang gerak mereka. Hak mereka telah dirampas oleh orang yang menyayangi mereka sendiri. Apa jadinya bila setiap anak dibebaskan untuk berkreasi, memilih jalannya sendiri, peran orang tua hanya menjadi kompas, menunjukan arah, memberikan saran dan mendukung kreatifitas anak. Lihatlah, mereka pasti akan menjadi anak yang berprestasi sesuai dengan jalan mereka sendiri.


0 komentar:

Posting Komentar