Tak perlu adu jotos untuk menunjukan kamu kuat

sumber : saefulrichysegara.blogspot.com

Stop Panggil aku dengan simbol warna kulit!

sumber : www.firstcover.com

Search For Common Ground

NGO penyebar kedamaian untuk seluruh umat di dunia

Jangan salahkan Perbedaan, musuhmu adalah dirimu sendiri

Mengkambingkan hitamkan Agama, Suku, ras dalam konflik merupakan sebuah pengkhianatan intelektual

Situs Rujukan

Senin, 20 Juli 2015

Cerai #3 || Antara 8 dan 20, kami pilih masing-masing saja ya mah, beh ?



Terdengar suara hentakan kaki yang semakin mendekat, ketukan pintu oleh kepalan tangan menandakan tergesa-gesa. Berdebar dibuatnya, ku pikir itu depkolektor, ternyata itu suara babeh, seksi memang suaranya, bak suara iklan di tv yang mengajak mama pulang “mamah, mau ikut?”. Namun dalam kasus ini, di ganti menjadi “cen, hayu tarawih”, silahkan bayangkan sendiri dengan imajinasi dan kreasi masing-masing.

Kami sekeluarga selalu mengadakan tarawih bersama di rumah, babeh selalu menjadi imam. Otoritasnya sebagai kepala keluarga selalu membuat dia ingin menjadi gardu terdepan dalam pendidikan keluarga, terutama soal agama. Ibu juga begitu, dua duanya memang hebat, selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun ibu lebih perfeksionis, babeh lebih toleran. Ibu selalu menginginkan yang sempurna, babeh apa adanya, kami sebagai anaknya hanya bisa ternganga dan mengusap ngiler yang daritadi mulai menetes melihat orang tua kami mengadu kekerenan. *becanda

Bila diluar disana masih ribut soal jumlah rakaat dalam sholat tarawih, ada yang memecahkan rekor hanya 10 menit untuk 23 rakaat, atau paling lama untuk 11 rakaat. Intinya sih, dua duanya juga ibadah, punya dasar yang kuat untuk keduanya, dan boleh-boleh saja. Sehingga tak perlu dipaksakan untuk orang yang ingin 11 harus 23, atau yang 23 harus 11.

Begitupun dikeluargaku. Ayahku selalu 23, ibuku ngotot ingin 11, namun kerennya mereka menyampaikan mengenai dasar dari masing-masing perlakuan. Biasanya disampaikan sebelum tarawih, babeh mengawali ceramah dulu, dengan dimoderatori oleh ibu. Padahal audiensnya hanya berdua, aku dan kakakku, tapi mereka begitu mempersiapkan ceramah seperti disambut oleh ratusan audiens. Orang tuaku memang begitu orangnya.

Pilihan babeh untuk 23 rakaat memang berdasarkan atas perkataan para sahabat atas tindakan rasulullah SAW dalam setiap tarawihnya, disamping ya beberapa mahzab yang dianut babeh yang belum aku mengerti betul hingga hari ini.
Begitupun dengan ibu, bersikukuh dengan 11 rakaat yang diperintah pula oleh rasul dan dicontohkan. Sehingga babeh dan ibu tak pernah sama dalam pelaksanaan tarawih. Lalu bagaimana dengan anak-anaknya?

Kakakku mengikuti ayah, dan aku mengikuti ibu. Bukan karena dipaksa oleh masing-masing pemahaman. Namun, babeh dan ibu memiliki daftar buku bacaaan dan cerita bebas dibaca oleh kami di rumah, begitupun dengan film dan novel lain, disediakan untuk memperkaya pengetahuan kami soal agama.

Melihat perbedaan pemahaman antara babeh dan ibu, babeh membagi tarawih menjadi masing-masing 4 rakaat, hingga ibu dan aku bisa berhenti di rakaat ke 11 dan mengakhiri tarawih kami, kakak dan babeh melanjutkan hingga rakaat 23. Kebiasaan ini sudah berlangsung dari kami kecil. Babeh dan ibu tak pernah memaksa kami untuk mengikuti salah satu dari mereka, yang paling penting kata mereka, bila anak-anaknya tak ada yang mengikuti kami (babeh dan ibu-red) satu pun. Dalam artian, tidak ibadah, tidak berbakti, tidak mencintai tuhan dan rasulnya. Hal tersebutlah yang akan menjadi masalah dan perdebatan dalam keluarga, bila hanya mengenai perbedaan mahzab, kami hargai sebagai upaya pencerdasan intelektual sebagai manusia.

Kami yakini, bahwa manusia tidak bodoh, hingga mereka tak patut oleh doktrinisasi satu arah, tak belajar sendiri, tak mencari sendiri, hanya disuapi. Biarkan mereka mencari pengetahuan sendiri namun tetap diberikan jalur, diberikan jalan agar tidak tersesat. Pada intinya, semua hal itu harus didapat dengan esensi belajar tanpa paksaan, hingga akhirnya akan mencintai dengan sepenuhnya, dengan tulus.

Orang tuaku justru tak menginginkan bila anak-anaknya hanya ikut-ikutan seperti kerbau. Beragama islam ikut-ikutan karena keturunan, puasa dilakukan karena mayoritas dan kebiasaan.  Orang tuaku mengajarkanku bahwa dalam beragama dan berkehidupan, kamu harus punya alasan dan dasar. Mengapa kamu sholat? Karena kamu paham mengenai perintah dan artinya. Jangan hanya menjalankan secaa ritual, tidak paham esesni. Jadinya nanti kalo ada yang ngobrak ngabrik pikiran dan mengomporimu untuk membunuh, akan gampang menurut, wong kamu aja gak paham apa yang kamu jalani.



Cerai #2 || apakah aku harus rangking di kelas dulu agar disebut pintar?

#2
Tak perlu mengkotak-kotakkan bahwa yang pintar harus rangking, yang cerdas harus kutu buku, berhenti melabelkan anak dengan status yang tak mereka inginkan. Mereka hanya ingin bebas, berkreasi dengan dukungan, bukaan cemoohan, arahkan dan lihatlah, anak-anak akan mengubah dunia dengan warna mereka sendiri- cenia



Karpet merah besar telah terbentang bebas di ruang tengah,  ada dua karpet berukuran sama untuk menutupi lantai keramik yang usang dan mudah berdebu. Anak-anak belarian mengantri untuk mandi, berlomba menuju pintu kamar mandi yang tersedia 4 ruangan. Mereka ada ber-11. Tercepatlah yang akan Cantik dan tampan duluan.
Mereka adik di panti asuhan, usianya baru belasan, SMP hingga SMA jenjang pendidikan mereka, bervaiasi bermacam-macam usia. Habis ashar mereka terbiasa bergegas bersiap diri untuk menyambut acara donatur yang ingin buka bersama dan berbagi cerita.
“kak cenia, siapa nanti yang bakal tampil untuk menyambut donatur?,” Tanya Elin
“yang siap boleh maju, apapun karyanya, bebas, semuanya bagus-bagus da” kataku
“oh gitu ya kak, oke deh siap. Berarti siapa aja ya ka, da keren kan kita mah yah,” rajuk elin
“iya dong, itu adalah karya originalitas kalian sendiri, yang bilang bagus dan kurang bagus kan orang lain yang belum tentu bisa melakukan apa yang kalian lakuan, begitupun sebaliknya, jadi lakukan yang terbaik yah,” ungkapku.
Sedari merapikan berkas yang berserakan depan meja ruang tamu, aku melihat beberapa mobil sedan dan deretan sepeda motor terparkir di depan gerbang panti asuhan. Satu persatu dari mereka sibuk membawa kotak nasi dari bagasi mobil dan mengestafetkan hingga memasuki ruangan. Sisanya, membawa beberapa bingkisan hadiah yang ingin mereka berikan untuk anak-anak di panti juga.
“assalamualaikum,” sapa salah satu gadis berhijab anggun dengan bibir merahnya.
“waalaikumsalam,” selamat sore, silahkan masuk. Duduklah dan mari berbincang mengenai hal menyenangkan apa yang akan kita lakukan sore ini
“begini teh, seperti yang sudah kita diskusikan ketika di email kemarin, selain ingin buka bersama, kami juga berencana ingin memberikan hadiah untuk anak-anak yang berprestasi di panti teh, apakah ada?
Aku menatap dalam-dalam kakak yang dengan seriusnya mengajak ngobrol denganku, dengan lembut aku tersenyum ramah sambil membuka album foto  adik-adik yang tersusun rapi di bawah meja. Aku pun menunjukan beberapa foto mereka yang sedang bermain jimbe, menyanyi, menjahit hingga karate, ada juga dari mereka yang sedang memgang nilai evaluasi rapor tahunan.
“mereka semua berprestasi kak,”ungkapku
“hmm, maksud ku teh, berprestasi dalam hal akademik, dia yang pintar, sering ranking di sekolahnya,’’tambah kak amel
Kak amel, yang kakak maksud berprestasi hanya untuk mereka yang mendapat rangking di kelas? Apakah  mereka rajin sholat, pandai mengaji, hobi memainkan alat musik dan menjahit tidak termasuk?
“ya menjahit atau bermain bulutangkis memang keahlian, tapi apa mereka sudah mendapatkan kejuaraan?
Aku kembali menghela nafas dalam, dan ku katakan dengan tegas. Kak amel, kami di panti tidak menghargai setiap kerja keras dan proses anak untuk menjadi lebih baik. menurutku, mereka lebih dari berprestasi, anak-anak tidak harus dipatok mereka menjadi rangking satu di kelas, kalo ternyata mereka memiliki kemampuan dan minat lain, ya ga masalah, setiap anak gak ada yang gak punya kemampuan, hanya perlu didiukung dan tidak diintimidasi dengan tuntutan rangking. Biarkan mereka berkreasi sebebas mereka asal paham batas, norma, tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Mengenai hadiah yang ingin diberikan, bagaimana bila setiap anak diberi semua? Usaha anak untuk terus mengejar mimpinya di bidang masing-masing yang mereka sukai da tekuni `patut di apresiasi dengan tidak direndahkan atau dikucilkan, pasti akan berbuah manis kelak. Seperti yang diharapkan kak amel dan kawan-kawan kan, berprestasi yang juga dibuktikan dengan selembar pengakuan, rapor atau sertifikat dan apalah namanya itu.

Anggukan kepala kak amel dan kawan-kawannya disertai senyuman yang terpampang manis terpancar menandakan kesepakatan akan pemahaman baru, bahwa untuk memandang seseorang tak perlu di kerucutkan, di kotak-kotakkan. Bukankah pada akhirnya, seluruh manusia ini akan berakhir sama tak peduli bagaimana pun latar belakang kehidupannya selama di dunia, semua manusia akan mati dan dikubur, dibakar, dikremasi ataupun cara lain. Intinya mati. Caranya beda, tujuannya sama.
Begitu halnya untuk streo-type-an anak anak di Indonesia, paradigma bahwa pintar itu harus rangking, harus berprestasi, sehingga anak-anak dipaksa keras oleh orang tuanya untuk belajar sekeras yang mereka bisa, merelakan waktu bermainnya, merelakan ruang gerak mereka. Hak mereka telah dirampas oleh orang yang menyayangi mereka sendiri. Apa jadinya bila setiap anak dibebaskan untuk berkreasi, memilih jalannya sendiri, peran orang tua hanya menjadi kompas, menunjukan arah, memberikan saran dan mendukung kreatifitas anak. Lihatlah, mereka pasti akan menjadi anak yang berprestasi sesuai dengan jalan mereka sendiri.


Cerai #1 || Antara sop iga, nastar dan ati


“Aku tak peduli mau babeh yang selalu duluan lebaran, dan kita belakangan, yang penting, kita sama-sama merayakan dan memiliki dasar yang benar, kalo beda, cukup hargai saja dan rayakan lebaran dengan gembira,” – cenia

Apapun makanannya, yang penting kita tetap keluarga.
sumber : google.com

Motorku terparkir rapi di halaman, lembut tak menimbulkan kegaduhan, malah yang lebih nyaring, decit gerbang yang besinya mulai usang karena sudah berusia lanjut. Ngilu! Mengunyah permen karet adalah perilaku rutin yang selalu dilakukan ketika menutup gerbang, sekedar untuk meredakan perasaan tak karuan ketika hendak memasukan motor ke halaman rumah.

Penuh! Teras depan sudah bealihfungsi sebagai tempat penampungan kursi. Ada meja, kursi tamu, pot bunga lama.  Karpet-karpet baru digelar di ruang tengah, bunga melati semerbak di mana-mana, ibu dan seluruh tetangga yang hadir sedang ramai membuat ketupat dan kue nastar. Ah iya, besok hari raya, padahal masih was-was menunggu pengumuman pemerintah yang  sedang galau menunggu hilal, melihat-lihat, menunggu, dan bersorai bila telah terlihat.
“Assalamualaikum”
Belum juga aku selesai menyapu pandanganku kepada lima ibu-ibu yang sedang duduk lesehan membuat ketupat sambil mengucap salam, ibu selalu ribet dengan semua intruksinya sambil memotong-motong buah untuk buka nanti.
“Cen, segera simpan ransel dan seluruh novelmu itu, bantu ibu untuk segera membuat ketupat dan seluruh keribetan yang ada di rumah ini”, oh iya, waalaikumsalam, maaf ibu lupa menjawab salam,” setelah itu, kumpul disini, ibu mau nanya soal keinginan makanan untuk hari raya besok, panggil juga kakak sama babeh yang lagi sibuk kajian terus di kamar belakang.
Ku hempaskan nafas sedari tersenyum melihat ibu yang memang selalu antusias dalam setiap kondisi. Saking antusiasnya, sampai-sampai gak nahan cerewetnya, instruksi sana-sini, belum selesai semua sudah intruksi baru. Ibu memang perfeksionis, dia menginginkan semuanya berjalan sesuai keinginan seluruh anggota keluarga, termasuk soal makanan untuk hari raya.
Keluarga sederhana yang berisi empat orang, babehku, aku, ibu dan kakakku. Baru kali ini kami akan lebaran secara serentak satu keluarga. Biasanya babeh sering duluan kalo lebaran, ibu lebih lambat satu hari, mereka memiliki dasar pemahaman masing-masing, meski beda, sama saja saling mendukung untuk menyiapkan hari raya. Tapi, jangan Tanya aku dan kakakku, kami mengikuti pemerintah, asalkan yang paling cepat dan sah. Kami ikut lebaran.
Kami hanya berempat,  dengan beraneka ragam kesukaan, dipersatukan dalam hidagan menu makanan. Ceritanya, setiap anggota keluarga, ibu, babeh, kakak dan aku, masing-masing memiliki makanan kesukaan masing-masing. Ribet memang, tapi inillah cara ibu untuk mengajarkan toleransi dan kerja sama, sederhana. Hanya menyoal makanan.
Menyambut hari raya ied fitri, makanan wajib yang selalu ada pasti opor, gule, dan ketupat. Sayangnya, di keluarga pada umumnya, pasti juru masak, alias ibu akan langsung memasak sesuai dengan kebiasaan. Namun, tidak dengan ibuku, dirinya akan bertanya satu-satu kepada anggota keluarga, dimulai absen dari babeh.
“beh, mau makan apa besok?” Tanya ibuku
“gule aja, sama sambel goreng ati” kata babeh
“kalo cenia gimana?,” Tanya ibu
“cenia gak suka gule, cenia mau sop iga, gak suka ati, anyir. Babeh jangan mau enaknya sendiri dong pesen dua makanan sama ibu”
“babeh kan hanya senang dan antusias saja, baru tahun ini babeh dan ibu serta kalian lebarannya sama, biasanya kan babeh suka duluan, ibu belakangan,”
“tetep aja beh, makanannya harus disukai semua orang,” jengkelku
*babeh dan cenia sedang adu lempar (dibaca : lempar sukro ke mulut masing-masing)
“kakak mah makanan berat mah apa aja, yang penting kuenya asin,” Nyengir kakakku.
*Memang, dia pemakan segala, asalkan ada kue asin, amanlah hidupnya.
“oke stop! Ibu sedang menulis, jangan tambah runyam dengan argumen masing-masing, sebentar ibu susun dulu keinginan masing-masing, babeh maunya ini, cenia ini, kakak itu yah, oke lah jadi begini,”
Dan kami pun terkejut dengan ibu yang sedang asik dengan kertas plano yang dia siapkan dan asik menulis semua keinginan kami dan disusun berdasarkan kategori. Makanan berat, keinginan pribadi, keinginan bersama, dan keputusan makanan.
Ibu mana yang takkan bingung melihat seluruh anggota keluarga memiliki egosentris masing-masing terhadap makanan kesukaan. Akhirnya, ibu mengutarakan mengenai usulan solusi penyelesaian yang dapat menguntungkan semua pihak, baik itu babeh, aku, ataupun kakak, ya tentunya termasuk ibu sendiri.
“babeh mau makan sambel goreng ati sama gule kan? Cenia mau sop iga dan gak suka ati. Oke, kakak pemakan segala, tapi mau kue asin. Jadi gimana kalo ibu tawarkan ini,” tawarnya
“Babeh mau dua menu, cenia juga dua menu, kakak juga harus dapet dua biar adil. babeh, kalo gulenya diubah namanya jadi sop iga gimana? Mau? Plus sama sambel goreng ati?,”
“hmm, gpp bu, sepakat” kata babeh
“cenia, sop iga dan sambel goreng kentang tanpa ati, karena kamu ga suka anyir, biar ibu pisahin nanti, yang ada ati buat babeh, kakak. Tanpa ati buat kamu. Gimana menurut kamu?
“nah, aku sepakat bu,”
“kakak, nanti makan sop iga, sambel goreng kentang plus ati ditambah kue nastar + keju yah,” seru ibu.
“nah, kakak suka ide ibu”
“ibu, tapi kue bisa buat semua kan?, tanyaku
“tentu saja, setiap orang berhak memiliki porsi yang setara, meski tidak sama, tapi sebanding. Karena itu  esensi dari keadilan, tidak harus sama rata, kan sesuai keinginan, yang penting nilainya sama. Agar setiap orang bisa menikmati makanan favorit mereka ketika di hari kemenanga, tanpa harus meninggalka rasa kekecewaan, ketidakpuasan atau bahkan tidak rela. Harus saling menerima dan legowo ya nak  -- Ibu


Menang bukan karena IPK, ini dia kisah dibalik pemenang mahasiswa berprestasi 2013

“Satu hal yang aku suka, kamu maksimal menjadi apapun, kalo pilihanmu jadi penyanyi, jadlah penyanyi dan handal, serius dalam latihan, sering membuat karya, dan perbaiki penampilan. Kalo pun jadi ustad, maksimalin jadi ustad, jangan setengah setengah sampe gak punya identitas, jadi yang sama diantara ribuan yang serupa, gak beda, gak maksimal, gak punya identitas, jadinya setengah-setengah intinya harus maksimal, jadi apapun nantinya kamu.”

Tulisan ini melatarbelakangi banyak pertanyaan dari teman-teman mahasiswa mengenai kemenanganku dalam ajang pemilihan mahasiswa berprestasi 2013 di Unpas  kemarin, jangankan kalian, aku pun cukup terkaget mengenai hal ini.
Kemenanganku bukan hanya dibuat kaget dengan skor IPK ku yang paling terendah diantara kandidat lainnya, namun karena aku pun berasal dari jurusan yang tidak pernah memenangkan kompetisi pemilihan mahasiswa berprestasi yang diadakan setiap tahun oleh dikti ini. memang, bahwa indikator menjadi mahasiswa berprestasi tidak hanya IPK semata, pengalaman organisasi, kegiatan pemberdayaan masyarakat, kemampuan berbahasa asing, kepribadian. intinya, seperti persegi, sempurna dalam semua sisi.
Sebagai awalan, aku berbicara mengenai bentukan mahasiswa kekinian bahwa ketika kamu cerdas dan berbakat, kamu pasti cum laude, ketika IPK mu jongkok, kamu pasti mahasiswa bermasalah di kampus, dan ipk-ku diambang batas kewajaran, 3.09.
Ini bukan ukuran murni, bukan patokan yang pasti tak bisa berubah definisi. Banyak hal yang melatarbelakangi, nanti ku ulas kembali.
Mulai heran? Ku tuturkan mengenai prosesnya.
Mobileku berdering hingga 4 kali!Pagi hari ku sedang asyik baca novel di kamar kesayangan, tak ku sadari mobile ku bordering beberapa kali. Pak abu rupanya, ketua jurusanku. Sedikit aneh, jarang-jarang beliau menelponku di pagi hari, karena tak ada kuliahku bersamanya di pagi itu. Tetiba pak abu hanya bilang padaku untuk membuat karya ilmiah dengan 4 rangkap, temanya mengenai “Mahasiswa Indonesia Cerdas dan Berkarakter”, sub tema bebas sesuai dengan ketertarikan, dikumpulkan ke dekanat khususnya ke Pak Dani (wakil dekan kemahasiswaanku) tiga hari ke depan. Sub tema sudah di sediakan dalam form yang ada di kampus. Tak bisa ku menolak, karena beliau dosenku di kampus, kuiyakan saja, selain karena aku senang menulis, tak ada salahnya untuk membuat karya ilmiah untuk mengasah nalar pikirku. Tak banyak ku bertanya untuk apa, selain karena waktu mepet, hal ini pun aku jadikan sebagai ajang latihan menulis, terlebih ketua jurusanku senang menulis buku, aji mumpung ceritanya.
Sejak berakhirnya percakapan kami di telepon, aku mulai mencari ide, melihat sub tema, dan mencocokan dengan kegiatanku selama ini. Ketika melirik, rupanya ada mengenai penanggulangan kemiskinan, cocok dengan jurusanku kesejahteraan sosial. Ditambah, aku pun menjadi relawan di panti asuhan alqomariyah sejak tahun 2010 silam. Kebetulan lagi, saat itu OSEC (one stop education center) sedang berlangsung di Al-Qomariyah. (more info yayasanalqomariyah.com) ah, ini saja pikirku. Menawarkan konsep untuk membuat panti asuhan mandiri, tanpa meminta-minta, tanpa menjual kemiskinan anak, dan menggeser paradigma masyarakat umum mengenai panti asuhan yang kolot dan begitu saja, mengkombinasi dengan kearifan lokal yang miliki membuat panti memiliki kegiatan yang unik dan dikelola mahasiswa.
Singkat cerita, aku mulai menelpon beberapa rekan dari kampus lain untuk diskusi, terutama kakak senior yang memiliki kegiatan serupa, bidang anak dan kearifan lokal. Hingga muncul akhirnya untuk membuat karya ilmiah tentang “pengelolaan panti asuhan melalui keworausahaan sosial berbasis kearifan lokal”.
 Kaget!Tiga hari berlalu, ku melangkah menuju ruangan wakil dekan III bidang kemahasiswaan dan mulai bertanya pada beliau mengenai alasan pembuatan karya ilmiah ini. Beliau mengutarakan hal yang membuat mataku yang sipit sebelah ini jadi terbelalak. Begini katanya “karya ilmiah ini akan diikutsertakan dalam ajang mahasiswa berprestasi 2013 tingkat kampus, kamu mewakili jurusan kesejahteraan sosial untuk maju di tingkat fakultas, kalo lolos maju ke universitas, terus ke wilayah. Kamu dianggap berkompeten karena penguasaan bahasa inggris dan aktif di dalam dan luar kampus,”. Beliau pun tidak mempermasalahkan ipk yang hanya 3.09 (syarat mawapres ipk 3.00), yang penting paham ilmu, pandai berkomunikasi dan aktif katanya.
Awal, kaget jelas, tanggung jawab pasti. Akhirnya ku mantapkan hati untuk mengiyakan dan mulai berbenah lebih mantap. Ajang seleksi tingkat fakultas akan diselenggarakan 2 minggu dari waktu tersebut.
Seleksi tingkat fakultas, ada 5 juri yang berpengalamanDalam setiap ajang seleksi, aku tak pernah berpikir mengenai menang dan kalah, kalian harus berpikir mengenai proses, bukan hasil akhir. Karena hasil, garis lurus dengan proses. Karya imiah yang aku angkat merupakan konsep baru yang dibuat, intinya aku hanya ingin mendapatkan masukan mengenai kegiatanku dari orang professional, itu saja.
Seleksi berada di ruang rapat dekanat FISIP Unpas, semuanya menggunakan jas almamater dan berpakaian rapi. Ada 4 orang wanita dan 1 orang pria yang berasal dari 5 jurusan di FISIP. Administrasi negara, komunikasi, kesejahteraan sosial, administrasi bisnis dan hubungan internasional turut berpartisipasi dalam seleksi ini.
Setiap mahasiswa diminta untuk mengambil nomor antrian untuk memasuki ruangan seleksi, satu masuk, sisanya menunggu diluar. Sambil menunggu, aku tak membaca materi apapun lagi, hanya minum air putih, makan dan browsing. Hanya membuat rilex, ku pikir, belajar di menit terakhir bukan hal baik. Sembari iseng, ku tanya mengenai ipk masing-masing kandidat. Sedikit menelan ludah karena rata-rata ipk mereka 3,7 keatas! Wow, aku pun tetap dengan mantap mengatakan ipk ku pun 3.09. Yeay
Giliran aku untuk memasuki ruangan, tak memasang muka kaget, hanya saja sedikit berkeringat ketika melihat lima pasang mata mengahadapku tajam untuk presentasi. Setiap kandidat hanya diberikan waktu 15 menit untuk presentasi. Karena aku yang buat, aku yang menjalani, dan aku yang paham, i’m the queen of this case! So. Gak usah gagap dan tegang pas presentasi yah.
Sesi tanya jawab pun mulai, dua bahasa mereka gunakan, yes. English dan indonesia, jadi mawapres mutlak bisa bahasa inggris yah wajib! disana , ada yang nanya metodologi, visi misi kampus, konsep ide, dll.
Lancar? Alhamdulilah, karena sehari-hari, berbicara di depan umum sudah menjadi makanan lezat. Sering ku lakukan dalam kegiatan wawancara sebagai pers kampus, sebagai pegurus panti ataupun sebagai pengurus inti dalam organisasi.
For the first time!Singkat cerita, seluruh kandidat sudah maju untuk presentasi, tibalah pada waktu yang tidak diinginkan namun indah untuk dikenang. Pengumuman pemenang!
Juri diawali dengan komentar mengenai seluruh kandidat dari jurusan, disertai dengan doa bahwa finalis yang menang hari ini, akan dibimbing oleh 4 dosen di fakultas untuk menghadadapi kompetisi di tingkat universitas bulan mendatang. dua dosen mengenai metodologi, satu dosen mengenai kepribadian, satu dosen lagi mengenai kemampuan bahasa inggris.
Skor teredah diucapkan, tak ada namaku disana, skor kedua terendah, tidak ada namaku, skor tiga terendah diucapkan, tak ada pula namaku. Berarti hingga bersisa juara 1 dan 2. Artinya, aku ada disalah satunya. Bak acara di kuis-kuis, ditundalah beberapa detik pengucapan pemenang, kerudung kunigku hampir basah, meskipun ber-ac, keningku bercucuran keringat. Hingga pada akhirnya juri mengucapkan, “ipah rosipah, selamat! Kamu menjadi finalis mahasiswa berprestasi dari FISIP untuk maju ke tingkat universitas!
Aku hanya menganga, mengucap syukur dan lega atas pencapaian, dalam closing statement, aku tak bisa menjanjikan kemenangan, hanya usaha maksimal dan proses tiada henti yang bisa kutunjukan. (coblos ipah untuk indonesia lebih baik)
print
Pengumuman Mahasiswa Berprestasi Universitas Pasundan tahun 2013 di Aula Setiabudi Unpas Bandung
Maju melawan seluruh fakultas di unpas
Jangan tanya mengenai tanggal dan bulan, jelas aku lupa. Aku hanya menginat seluruh momen saja. Pagi itu, aku disiapkan untuk segera presentasi dalam seleksi tingkat universitas, kulihat kanan kiri, ada kandidat dengan kualifikasi terbaik di setiap fakultasnya lah yang akan kuhadapi. Seleksi itu terbagi dalam tiga ruangan, diuji oleh para professor yang ahli di bidangnya, para kandidat harus mengikuti prosedur. Ruangan pertama untuk karya imiah, ruangan kedua untuk kemampuan bahasa inggris, ruangan ketiga untuk keorganisasian. Aku mendapatkan giliran untuk memasuki giliran pertama memasuki karya ilmiah, rupanya para juri sudah tak  asing dalam pandangan, pak thomas bustomi, dosen politik favoritku beserta satu professor lain. Para kandidat diharuskan untuk mempresentasikan karya ilmiahnya, mengikuti tes bahasa inggris, dan diwawancarai mengenai keorganisasian dan kompetisi yang pernah diikuti.
Ku selesaikan dengan mulus, aku hanya senang dan berkata, “terimakasih ya allah, ada beberapa professional lagi yang mendengar ideku hari ini,”.
Sebulan berselang, surat dari universitas pun tiba di jurusan, lagi-lagi aku mendapatkan sms dari wakil dekan iii ku, bahwa, aku memenangkan kompetisi mahasiswa berprestasi tingkat universitas. Alhamdulilah. Oya, pemenang selain mendapat uang pembinaan, mendapatkan beasiswa juga loh, lumayan.
Oya menjawab pertanyaan mengenai ipk, bukan berarti aku malas kuliah atau malas belajar, aku senang belajar, tapi dengan cara yang lain, mungkin tidak disukai banyak orang. Ya, aku suka jalan-jalan, bertemu banyak orang, terlibat aktif dalam banyak kegiatan, hal ini jelas mengurangi keaktifanku belajar di kelas. Absenku buruk, mempengaruhi pada ipk ku, meski uts dan uas seringkali mendekati sempurna. Hehe.
Ketika di klarifikasi oleh Pers kampus kepada wadek III mengenai kemenanganku, beliau menuturkan, memang mengenai IPK aku tidak bisa diperhitungkan, namun mengenai penguasaan bahasa inggris, kemampuan dalam berkomunikasi, kepemilikian ide, nalar kritis, keaktifan di kampus dan luar kampus, hal ini yang menjadi pertimbangan
Aku memang jarang kuliah, tapi aku ikut semua hal yang berbau organisasi kemahasiswaan dan kegiatan sosial. Mulai dari pengurus panti, aktif di kampus, diluar, jadi panelis, dll. Imbasnya, memang jarang masuk, IPK jongkok, positivnya, banyak pengalaman dan link. Tapi, ini antara keputusan dan konsekuensi.
Satu hal yang selalu kutanam dalam pikiran, jadi mahasiswa gak cukup menoreh ipk tertinggi, kita pun harus bermanfaat untuk orang lain, untuk masyrakat, bikin karya sebanyak-banyaknya, menghabiskan jatah kegalan sewaktu muda. Kita hanya butuh maksimal, paham arah. Maksimal jadi aktivis? Orasi lah sebanyak-banyaknya, bangunlah relasi seluas-luasnya, belajarlah sebanyak-banyaknya, pengaruhi orang sebisa mungkin. Maksimal jadi aktivis. Atau maksimal jadi akademisi, banyaklah baca buku, sering masuk kuliah, aktif bareng dosen, sering diskusi, sering bikin penelitian, sering ke perpustakaan, jajal buku, jajal tulisan. Semuanya maksimal sesuai peran. Yang parah dan disayangkan, ketika kamu gak maksimal di peran yang kamu pilih untuk dioptimalkan. Kuliah seringnya hanya sekedar duduk, belajar jarang, baca buku kadang-kadang hanya menuju uts, itu pun kalo gak open book, diskusi males, tapi kalo teriak-teriak orasi sering. Ini yang keliru, jadi gak punya identitas, gak maksimal. Orang boleh memandang miring mengenai aku yang jarang kuliah, jarang nongol di kampus, karena bukan hal ini yang dimaksimalkan. Aku senang menulis, berbicara dengan banyak orang, bikin kegiatan unik, jalan-jalan, baca buku, nonton film, diskusi. Yang penting maksimal dan tanggung jawab.
Terimakasih kepada ibunda tercinta, yang selalu menyiapkan teh hangat, sarapan bergizi, membangunkan di pagi hari ketika anakmu ini tertidur sembarangan di kamar, terimakasih kepada pak Iing pembimbing metodologi, Bu yuce, Pak abu, pak dani. Tak lupa pula kepada kawan-kawan BPPM (badan Penerbitan Pers Mahasiswa) FISIP Unpas yang sudah membantu banyak dalam pembuatan video mawapres unpas, mendukungku pula. Seluruh sahabat, dan terspesial untuk adik-adik panti asuhal alqomariyah yang selalu menjadi inspirasi selama ini. Terimakasih. Semoga bisa terus berkarya positif dan tidak pernah berhenti.
Ipah Rosipah
Mahasiswa Kesejahteraan Sosial FISIP Unpas,MAWAPRES 2013 Universitas Pasundan Bandung.senang untuk bisa berdiskusi dan menjalin relasi lebih,
kita bisa sharing dan bertukar ilmu dalam email ke ip4hrosipah@gmail.com / line : ipahrosipah / 0899.7057.599

Mahasiswa diantara Persimpangan Jalan


Pilihan Jalan ada di tanganmu sendiri
Source : google.com
Membicarakan mengenai Negara, permasalan serta peranan kita di dalamnya, mungkin hanya dirasakan oleh para mahasiswa yang tergabung dalam sebuah aliansi di kampus. Tak jarang juga mereka disebut aneh bahkan anti mainstream, menghabiskan waktu untuk hanya sekedar berceloteh mengenai kemajuan bangsa.
Ya, memang begini keadaanya, mahasiswa yang berada dalam ranah peningkatan dialektika akan disingkirkan dalam pergaulan dan dianggap kolot, tidak semuanya, tapi rata-rata demikian. Apabila menilik pada masa lampau atau masa perjuangan tahun 2007 silam, seringkali aku mendengar mereka merencanakan aksi untuk melawan ketidakwenangan pihak birokrat. Ada yang aksi turun kejalan, ada yang menuangkan ide serta gagasan dalam secarik tulisan, atau hanya ikut berdiskusi dan merumuskan dalam bundaran.
Mereka begitu konsen dalam memangani permasalahan actual yang terjadi, merespon dengan sigap, karena berpikir bahwa merekalah (mahasiswa-red) yang menjadi harapan masyarakat untuk mengubah kondisi sosial yang hampir kehilangan harapan ini. Namun, menilik dari berbagai fakta yang ditemukan, tak jarang kita melihat para mahasiswa asyik tidur di kosan atau nongkrong di pinggiran membicarakan mengenai ukuran celana jeans atau potongan rambut terbaru.
Modernisasi, arah pergaulan memang tidak bisa kita pungkiri memangkas habis iklim mahasiswa yang naturalnya menginginkan perubahan dalam dialektika pemikiran. Budaya diskusi, skeptis serta haus akan ilmu pengetahuan serta pengembangan disiplin ilmu melalui riset yang dilaksanakan, nampaknya harus dinikmati sebagian kalangan saja, organisatoris tentunya.
Di perguruan tinggi kini kita hanya bisa menemukan segelintir mahasiswa yang tergerak untuk menciptakan perubahan, pikiran postifiku, mereka pun melakukan perubahan, sekalipun di kasur tidurnya. Entah apa yang terjadi kini, organisasi pun serasa kehilangan gairah dan peminatnya, kian melemah dari ruh yang menggebu-gebu untuk menyuarakan suara mahsiswa yang teritndas dan tidak mendapatkan hak yang semestinya. Tak jarang di dalam tubuh organsisasi pun terjadi pertikaian tidak penting dan tidak produktif.
Organisasi memang dilahirkan sebagai tempat belajar tentunya. Dengan organisasi, kita akan belajar bagaimana untuk mengorganisir orang maupun alat dengan segala keterbatasan kemungkinan yang tidak terduga. Tak ada yang mengajari disana, dituntut kemandirian yang tinggi serta keihlasan terampasnya waktu untuk kesendirian dan bersenang-senang bersama teman-teman. Namun, pengetahuan, kemampuan dalam mengendalikan diri dan orang lain serta mengembangan dan memaksimlakan kapastias individu, terlepas dari peranan yang diambil.
Terlihat jelas perbedaan antara mahasiswa organisatoris dengan yang hanya kuliah pulang semata. Latar belakang pengetahuan, kepemimpinan serta manajemen telah didalam genggaman sang organisatoris. Ya jangan berbicara mengenai cinta, mungkin akan lupa megenai hal ini,
Pengharapan masyarakat luas akan kemajuan negeri ini pada insan-insan akademis di perguruan tinggi sepertinya harus ditahan dulu sejenak. Kami para mahasiswa sedang berleha-leha dalam sikap hedonis serta keenakan dalam bermain gadjet semata. Sudah tak peduli lagi rasanya melihat masyarakat yang membutuhakn pertolongan, yang kita lirik sekarang hanya “diskon gadjet baru” atau “libur panjang” selesai.
Banyak masyarakat yang harus menahan nafas panjang karena melihat mahasiswa yang kerjaanya molor dan kuliah asal, alias datang, update status, ledekin dosen, ngikut wifi di koridor, nongkrong di kantin, dan pulang. Minimnya aksi diskusi atau membicarakan mengenai Negara, layaknya agenda langka terjadi di kalangan mahasiswa kekinian. Bukan tanpa alasan sistem pendidikan tingginya sendiri pun memang menekan dan membuat para mahasiswanya leha-leha. Terlalu banyak kelonggran dalam rahan eksekusi pemikiran, supervisi yang minim, sehingga mahasiswa pun akan melakukan apapun yang dia lakukan, karenanya dirinya tak pernah salah, “wong jarang di supervisi,”.
Mahasiswa harus kembali menghidupkan ruh kembali organisasi
Iklim organisasi pun dirasa kian melemah, hiperbola sebagai alih fungsi lahan awalnya sebagai tempat menukar ilmu, namun kini lebih buruk daripada itu. Minim produktivitas, minim ide, pikiran, gagasan-gasan solutif malah menjamur disana, diisi oleh para mahasiswa yang menghabiskan waktunya di sekre untuk bermain games, bermain musik atau hanya sekedar istirahat dan meluruskan pinggang. Nyatanya, pertukaran ide, konsilidasi yang kian terjalin mengenai isu kampus, langka Nampak ke permukaan. Tak bisa mengelak, banyak organisasi kian vakum dan bersisakan para pejuang seorang diri.

Banyak yang berbicara, mahasiswa adalah agen of change, agen pembentuk bangsa ini untuk masa yang akan datang, mereka yang aktif, bergejolak dengan ide kreatif untuk membangun bangsa ini. Nyatanya, banyak yang kian sibuk dengan hidupnya sendiri, kesenangan sendiri, bahkan hiruk pikuk desain terbaru dan teknologi teranyar masa kini. Kini, mulai ku pertanyakan, masihkan mahasiswa mengingat tri dharma perguruan tinggi? Yang mengamanatkan kita akan pendidikan, penelitian dan pengembangan serta pengabdian masyarakat. Semoga tri dharma ini akan kembali pada jiwa para mahasiswa yang masih melek akan butuhnya perubahan dalam berbagai lini.

Mau Jadi Pensuplai Birokrat Struktural Yang Ngoceh Soal Duit Saja Kah?
Tidak cukup ilmu yang kita dapatkan dari hanya sekedar duduk di dalam bangku kuliah, harus ada pengasahan soft skills dalam ranah lain, organisasi jawabannya. Apapun itu, sesuai dengan minat dan bakatmu. Tidak cukup hanya mengandandalkan IPK dan menyebarkan lamaran ketika lulus kuliah nanti, kita harus punya nilai tawar lebih yang tidak bisa ditolak orang, atau bahkan lebih luar biasanya lagi, kitalah yang akan membuka lapangan pekerjaan dan seribu lamaran bagi orang lain.

Namun, semua hal itu tidak bisa kita dapatkan hanya dalam bangku kuliah, mendengarkan presentasi dikelas, harus didukung oleh lingkungan sosial yang tinggi, link-nya yang meluas dan kemampuan berkomunikasi unggul. Mengasah, meningkatkan kemampuan tersebut, hanya berada dalam tataran komunitas, organisasi atau perkumpulan positive yang lain. Memilihlah sedari kini,engkau akan dikenang sebagai mensuplai para birokrat struktural yang bekerja hanya leha-leha dan mengoceh mengenai kenaikan gaji, atau para pejuang bangsa yang kuat akan sarat perjuangan, kebebasan serta kesejahteraan bersama!

Aktivis yang Akademis dan Sosialis

pada tahun baruan yah?
secangkir kopi, sebuah roman tebal yang menemani dalam pergantian tahun ini, serta secercah pemikiran resolusi di tahun kuda lepas nanti (hehehe)

“fokusku adalah lebih rajin ibadah, sholatnya jangan bolong-bolong lagi, sering di rumah, cepet nikah (hehe), OSEC di panti al-qomariyah, dapet beasiswa, menghasilkan banyak riset, dan masuk kick andy”.


Abstrak

Siapa yang tidak mengenal acara kick andy? Acara paling menginspirasi bagiku, banyak orang sukses, bukan hanya orientasi materi, namun kebermanfaatan bersama. Aku kagum mereka, setiap jam tayangnya, aku baru jadi penonton di rumah, baru jadi loh yah. Semoga jadi narasumber nantinya. Aamin

“kalo ingin masuk kick andy, harus punya karya yang manfaat buat orang banyak, orang sekeliling, keikhlasan dalam pengabdian serta keinginan besar untuk membangun”, pikirku. Nah, sekarang, apa aku sudah punya itu semua? Belum tanyaku, belum maksimal tepatnya. Masih banyak malesnya, lah buktinya bangunnya aja masih siang *ehhh

karena ingin masuk kick andy bukan berarti aku melakukan kegiatan sosial, justru sebaliknya. Intinya, agar bisa menginspirasi, minimal sering memecut diri yang sering lalai. Banyak yang nanya, kenapa harus bidang sosial? Kan masih banyak bidang lain, misalnya menulis dan menekuni lebih dalam menjadi wartawan yang aku geluti juga.

Aku hanya bisa jawab “aku suka, aku cinta, ini duniaku, aku bisa jadi wartawan penulis kisah-kisah inspirasi dan sosialis”. Tapi jadi wartawan belum tentu kepekaan sosialnya tinggi. Hehe.

Intinya, berbicara mengenai resolusi, arah ke depan. Setahun ini minimal. Aku ingin lebih baik, lebih cerdas, lebih bermanfaat dan membuat karya sebanyak-banyaknya. Karya dalam bentuk fisik, maupun hati, dalam artian menikah. Hihihihi

Ini resolusiku
IPK harus jadi 3,5 lagi
Indeks prestasi kumulatif terkahir yang aku raih hanya 3.06, sangat kecil tentunya disbanding teman-temanku dikelas yang rata-rata cumlaude. Mengembalikan semangat untuk berkuliah kembali sepertinya harus ekstra kerja keras, agar tidak terhambat untuk berbagai urusan, apalagi kompetisi dan beasiswa. Memang, organisasi, panti asuhan, menjadi orientasi awalku kemarin, tahun ini aku harus bisa menyeimbangkan ketiganya, keempatnya, minimal terpenuhi satu-satu. Kalo memang tidak bisa maksimal, dalam arti harus memilih kembali,. Tapi tolong tuhan, seimbangkan IPK ku, rajinkan aku bangun pagi, dan buat aku tepat waktu.

OSEC bisa berjalan maksimal
Nah, ini dia, satu-satunya yang mencuri perhatianku, menghabiskan waktuku dengan penuh manfaat, membuatku tak bisa melepasnya, melupakannya, bahkan meninggalkan lama-lama. Sial, aku terlalu sayang mereka. Yap, panti asuhan al-qomariyah, rumah adik-adik lucuku. Tahun ini, ada pilot project yang harus segerta terealisasi. Aku terlalu banyak spekulasi, hingga penerapan terkesan lamban dan minim. Ini harus dikurangi agar tidak akut.

OSEC bisa berkembang, anak-anaknya bisa jadi trainer panti lain, al-qomariyah punya OSEC di banyak panti di bandung, anak-anak mandiri, panti bisa berdiri sendiri, banyak anak-anak cerdas dan berkembang lahir dari program ini. Wahhhhh, harus jadi harus harus, aku tak sabar untuk melihat dan mewujudkannya.

Mahasiswa terbaik
Nah, ini juga nih tantangan terberat di tahun depan, bagaimana tidak, aku kuliah tinggal 2 semester lagi. Sebentar lagi sarjana. Karya? Ini dia, harus segera.
Impianku yang lain adalah menjadi mahasiswa terbaik seantero nusantara. Bukan hanya baik dalam hal akademik, kepribadian, nilai-nilai sosial serta budaya pun aku kuasai. Oleh karenya, penyiapan yang matang apalagi mengenai, KULIAH DAN SERING MASUK! Wajib ini. Minimal 50% aku masuk lah. Doakan :)

Penelitian di UNICEF
Dunia anak itu menyenangkan, penuh tantangan dan kita dituntut bukan hanya skedar paham teori, kreatif dalam penerapan praktek itu pun penting. Aku maniak dengan hal-hal yang berbau luar negeri. Ingin sekali bisa kuliah disana, pertukaran budaya, atau bantu anak-anak diluar negeri sana yang masih butuh bantuan. Aku menemukan semangatku, kreatifitasku di dunia mereka, anak-anak.

Inginku penelitian skripsi nanti di unicef, NGO tentang anak, fokus dalam dunia kesehatan, pendidikan dan tumbung kembangnya. Seru rasanya, aku keliling Indonesia, dunia, menebar keceriaan, semangat untuk anak-anak kurang beruntung disana.
Masuk Kick andy (diceritakan nanti deh yah, kalo satu persatu resolusiku terealisasi )

Reunitifikasi Anak Panti Masih menjadi Ilusi

Tak ada satu pun anak di dunia ini yang ingin berpisah dari keluarganya, tak peduli kandung atau sanak, mereka ingin berkumpul. Tak peduli punya atau tidak, semua anak suka pelukan, disayangi, diambil rapor tahunan sekolah oleh orang tua, hingga bercengkrama menonton siaran tv kesukaan di malam hari. Tak terkecuali bagi mereka, para adikku di panti asuhan. Namun, masih ada polemik, banyak, banyak sekali. Harus kian dipersiapkan oleh semua elemen, terutama bagi mereka yang kian seakan memaksa memulangkan mereka secara massal tanpa persiapan yang matang.
             


Ini adalah awal kisah, adikku yang kucintai, ada dua orang, mereka wanita, berusia kurang dari 15 tahun, kini sudah tak melanjutkan sekolah kembali setelah tinggal bersama keluarga. Tak asing lagi menjadi alasan, mereka bekerja, untuk membantu keluarga, bermodalkan ijazah pinjaman dan uang bayaran untuk agen yang memasukan mereka, kini buruh pabrik menjadi sandangan baru untuk mereka. Berkali-kali kami bujuk, kami tawarkan untuk melanjutkan sekolah, ternyata itu sudah tak menjadi prioritas. Sesak, jelas. Aku tau mereka, ketika mereka berjuang untuk belajar dan menjadi pintar. Mirisnya, salah satu dari mereka harus putus sekolah ketika berhasil menjadi rangking 2.

Kisah ini kutuliskan berdasarkan pengalaman empiris. Pelik, menyayat hati untuk mengungkapkan kembali, apalagi menuliskannya seperti memutar setiap potongan kisah yang baru saja terjadi. Baru saja. Sebuah upaya untuk memulangkan kembali anak panti asuhan ke keluarga/sanak masing-masing perlu masih perbincangan matang. Mereka biasa menyebut hal ini dengan istilah “Reunitifikasi”. Bila kalian Tanya apakah aku setuju, jelas dengan lantang akan kukatakan, SETUJU DENGAN SYARAT! Mei 2015, tahun ke 5 aku menjadi pengurus salah satu panti asuhan di bandung. Banyak yang aku lewati bersama mereka, mulai adaptasi awal di musuhi, tak diajak bicara, membangkangnya mereka, hingga kini kami begitu saling menyayangi, ditanya jika tak datang, disambut bila menginjakakan kaki ke panti, dan dijahili jika diharuskan. 5 tahun terakhir aku menjadi saksi perkembangan para adik yang berawal dari seragam merah menjadi biru, kini ada yang abu dan bahkan menjadi mahasiswa sepertiku. Aku pun begitu meyaksikan bagaimana perjuangan mereka belajar ditengah keterbatasan, ditengah pelik kerinduan untuk bertemu keluarga (bagi yang ada), tangisan setiap perpisahan, tawa di setiap kejadian, semua besatu padu. Kami panti yang sudah seperti keluarga, hanya 11 orang anak-anaknya, bervariasi usia, namun tak jauh denganku. 

Hingga  pada akhirnya, salah satu adik panti kami harus kembali kepada keluarga, sebenarnya bukan hanya karena regulasi mengenai standarisasi panti asuhan, tapi dari awal pun kami tak pernah memaksa anak untuk tetap tinggal bila keluarga mereka sudah menginginkan untuk merawatnya. Terhenti sekolah karena alasan ekonomi Meski sudah tak tinggal di panti, bukan berarti kami melepaskan diri. Seluruh biaya sekolah beserta keperluan lain masih diupayakan sepenuhnya berasal dari panti. Tentunya, hal ini berkat bantuan dari seluruh donatur, pemerintah daerah dan kementrian sosial. 

Terimakasih. Namun, untuk pola pengasuhan dan seluruh keputusan mengenai hidup anak, kini sudah berada ditangan keluarga. Panti tidak bisa intervensi lebih, selain membantu memberikan pertimbangan, solusi dan rujukan. Termasuk mengeanai sekolah. Sebut saja namanya zia, keluarganya memang berada jauh dalam kata berkecukupan. Ayahnya sudah tak bisa bekerja karena stroke ringan, ibunya buruh di pabrik dengan penghasilan yang tak menentu. Sering sakit pula. 

Selama di panti dulu, zia pun sering mengatakan ingin merawat ayahnya, membawa ke rumah sakit dan selalu berada di sampingnya, dan ia pun ingin bekerja. Jelas, atas nama hak anak dan penyadaran atas tanggung jawab orang tua, masyarakat, dengan tegas kami cegah. Agar dia tetap bersekolah. Ternyata hal itu hanya bertahan ketika zia di panti. Selepas dia dirawat keluarga, awalnya memang mengeluh karena uang sekolah yang mahal, padahal panti sudah membiayai. Tak paham ada angin apa, aku mendengar kabar dari salah satu adik pantiku juga, bahwa zia sudah tak sekolah selama 3 minggu. Semua canda tawa yang sedang kulalui di panti bersama anak-anak sontak terhenti. Kami putuskan untuk mengunjungi zia keesokan harinya. 

Untuk memastikan hal apa yang membuat anak yang kini memiliki motivasi sekolah tinggi harus terhenti kurang lebih 3 minggu lamanya, ini pasti ada yang penting pikirku. Benar dugaanku, kutemukan anak ini hanya dikamarnya. Kami disambut oleh orang tuanya yang sedang berisitirahat diruang tengah yang sekaligus kamarnya. Tak enak memang, namun ini penting, untuk masa depan zia. Masih tampak jelas dalam raut wajah, zia kian tertunduk dalam ketika kutanyai mengapa dirinya lama sekali tak masuk sekolah. Tak banyak bicara, hanya menjawab “gak ada uang saku teh”. “kan zia tinggal datang ke panti, biasanya rutin kan dikasih,”? jawabku “kemarin sempat kesana, tapi gak ketemu terus pak aep, waktunya gak cocok,”. Ujar Zia Ternyata permasalahnnya bukan hanya di uang saku, namun zia pun harus bekerja. Usia 14 tahun bekerja dengan 8 jam perhari menjadi buruh pabrik. Bermodalkan meminjam ijazah saudara dan membayar 800 ribu untuk upah memasukan dirinya ke pabrik oleh agency. Demi apapun aku mengutuk para penyuap pabrik yang kian tega mengizinkan anak dibawah umur untuk bekerja demi lembaran uang 100 ribuan. 

Permasalahan muncul dalam beberapa hal. pertama orang tuanya terlanjur meminjam uang kepada tetangga sejumlah 800 ribu. zia pun sudah mulai bekerja selama 1 minggu. sekolahya total terhenti selama 3 minggu, ayahnya sakit, ibunya sudah jarang jualan. polemik, aku hanya bisa menggigit bibir, menghela nafas dan memberikan beberapa alternatif. termasuk membantu keluarganya agar zia tetap lanjut sekolah. aku paling memmbenci alasan ekonomi sebagai alasan terhentinya sebuah pendidikan. bukan berarti aku sudah mapan, belum tentunya. 

Namun aku paham soal pengorbanan dan kerja keras untuk terus sekolah, baik itu orang tuanya, maupun anaknya. tapi zia masih terlalu kecil untuk berpikir mengenai uang, orang tua dan kakaknya masih berhak untuk memikir hal itu lebih dalam. obrolan panjang lebar itu tak membuahkan solusi yang optimal, kuputuskan untuk kembali minggu depan agar zia dan keluarga berpikir mengenai solusi terbaik untuk zia. harapannya zia tetap sekolah. lanjut. hari itu telah tiba, ya tepatnya hari ini. seminggu setelah kesepakatan pertemuan untuk berpikir mengenai keputusan zia. aku bersama widia, salah satu anak asuh panti pun bergegas ke rumah zia, yang hanya menempuh 15 menit menggunakan sepeda motorku. lagi lagi, ayah dan ibunya sedang asik menonton tv, zia di kamar. wajah zia murung, terlihat sedih, semoga itu bukan pertanda buruk. dia tak berkata apapun selain bersalaman denganku. aku mulai bertanya mengenai kabar awalnya, lama-lama mengenai keputusan. keputusan itu membuatku diam terpatung, hampir menangis dan bingung entah akan melakukan apa. zia memutuskan untuk bekerja, sudah tak bernafsu untuk sekolah kembali. ibunya memperkuat bahwa zia akan terus bekerja, karena itu pilihannya. dalam hati aku mengutuk, anak 14 tahun belum bisa berpikir maksimal mengenai masa depan, apalagi mengenai pekerjaan, yang membuat ijazah palsu, membayar agency, dan membiarkan bekerja, memang siapa? tak luput keluarganya sendiri. alih-alih berlama-lama, setelah lobi dan meyakinkan sana-sini, zia tetap tak bergeming. masuk ke kamarnya dan tak meninggalkan komentar selain keputusan tak lanjut sekolah. hal ini yang menjadi renunganku mengenai reuntifikasi. bukan karena zia, tapi sudah 2 anak pantiku bernasib sama. 

ketika dipulangkan, mereka tak disekolahkan dengan alasan keterbatasan ekonomi. reunitiffikasi harus berdasarkan pemahaman maksimal, bukan hanya sekedar dipulangkan. orang tuanya juga harus paham pengasuhan dan hak anak yang benar. bukan yang baik. orang tua harus memiliki pengetahuan parenting yang baik, kemampuan ekonomi yang baik serta komitmen untuk menjaga, merawat dan memberikan hak terbaik bagi anak. selama di panti, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi hak mereka, apapun itu, fisik, emosional, spiritual, selama memungkinkan. belum sempurna memang, tapi terus diupayakan. usaha hanya sekedar memulangkan hanya tanpa solusi berkelanjutan memang takkan membuahkan hasil yang maksimal. kita takkan bisa pukul rata bahwa semua orang tua paham, menyayangi dengan benar, tidak membiarkan. orang tua perlu disiapkan, disiapkan dalam berbagai aspek. agar paham, tak salah solusi, tak salah dalam memberikan keputusan. ekonomi, pengasuhan, kasih sayang, masih menjadi pr bersama. bukan hanya yang akan dipulangkan, tapi yang akan menerima kepulangan dan bertanggungjawab melakukan proses pemulangan.

goresan dalam petang, 11 januari 2015, 1:15. dalam renungan batas kamar imajinasi yang takkan berhenti oleh sebuah keterbatasan diksi.